Rabu, 20 Juli 2011

Spasmophylia: Antara Rasa Sakit dan Kebanggaan

Sebuah catatan kecil refleksi perjalananku di Insan Cendekia…

Kisah ini akan bercerita tentang pengalaman pahit sekaligus membanggakan yang pernah aku alami selama berada di Insan Cendekia. Alkisah, ketika itu aku duduk di kelas X, dengan segala makhluk yang menamakan dirinya sebagai Quadro Reverof (piss..:D). Kisah ini dimulai ketika semester pertamaku berada di Insan Cendekia, beberapa minggu pasca libur lebaran. Entah kenapa, ketika itu kepala bagian belakangku sering mengalami rasa sakit yang sangat hebat, bahkan terkadang untuk membuka mata pun sangat sulit karena rasa sakit yang begitu menghujam. Sontak penyakit yang aku derita itupun ternyata semakin manjadi-jadi, bahkan terkadang merepotkan teman sekamarku di 207 F (dimas, azwar, naufal fajri), karena harus secara bergantian membawakanku makan dari kantin ke kamar (thanks ya kawan…:D). Juga tentunya sudah merepotkan jajaran Wakamad Keasramaan, dan kakak-kakak poliklinik. Karena sudah tidak kuat lagi, akhirnya keluargaku pun memutuskan untuk membawa aku pulang untuk berobat.

Di rumah, aku sempat beberapa kali ke rumah sakit untuk dilakukan pengecekan di bagian kepala (MRI, CT Scan, dll.). Setelah beberapa kali bolak-balik dan berganti-ganti rumah sakit dengan tujuan mendapatkan second opinion, ternyata positif aku menderita spasmophylia tingkat 4. Inilah yang membuatku harus terdiam dan beristirahat di rumah selama kurang lebih 3 bulan lamanya. Satu hal yang membuatku kaget adalah ternyata spasmophylia bukanlah sebuah penyakit, dan karenanya tidak bisa disembuhkan. Spasmophylia merupakan sebuah keadaan dimana otot-otot menjadi tegang, dan dalam kondisi tertentu bisa menekan urat saraf, sehingga menghasilkan rasa sakit yang sangat hebat. Menurut dokter, sebetulnya setiap orang memiliki kecenderungan tersebut, hanya saja tingkatnya yang berbeda-beda. Kebetulan tingkatku cukup tinggi (tingkat 4), sehingga sering kambuh jika stress dan kecapaian, dengan rasa sakit yang tentunya sangat menyiksa.

Setelah mengetahui hal tersebut, dan menjalankan beberapa terapi intensif untuk mengurangi rasa sakit, akhirnya aku kembali ke Insan Cendekia, dan kembali berkutat dengan seluruh program disana. Sangat berat dan menyiksa, itulah kesan pertama yang bisa aku gambarkan ketika kembali berkutat dengan pelajaran-pelajaran di kelas. 3 bulan tidak masuk sekolah ternyata membuat aku ketinggalan pelajaran begitu jauh, dan sangat tertinggal dari teman-temanku yang lain. Rasa frustasi, putus asa, dan keinginan untuk pindah sekolah terus membayangi benakku. Aku berpikir sudah tidak ada gunanya aku sekolah disini, toh aku sudah ketinggalan sangat jauh, dan mustahil untuk bisa mengejar ketertinggalan. Akan tetapi, dengan penuh ketegasan, orang tuaku terus mempertahankan agar aku tidak pindah sekolah dan terus menempuh pendidikan di IC hingga lulus. Dengan penuh rasa putus asa dan sedikti kesal, akhirnya aku pun memutuskan mengikuti saran orang tuaku, dan berusaha—walaupun ketika itu terasa tidak mungkin—menjadi lulusan IC.

Tahun pertama aku lewati dengan berbagai kekecewaan. Aku merasa menjadi orang yang paling bodoh di kelas, juga di IC, dan aku tidak bisa mengerti hampir semua pelajaran yang disampaikan oleh guru-guruku di kelas. Bahkan kurva-kurva dan rumus-rumus ekonomi hanya terlihat seperti coretan-coretan simbol di kertas yang sama sekali tidak aku mengerti maksudnya. Alhasil, menurut beberapa kabar yang terdengar, tahun pertama semester 1 dan semester 2 yang aku lalui di IC, aku selalu menempati urutan terbawah dalam rangking di kelas. Kesal memang, namun itulah kenyataan pahit yang harus aku terima dengan spasmophylia yang saat itu sering kambuh.

Tahun kedua, aku masuk program IPS dan harus merelakan keinginan dan cita-citaku untuk menjadi seorang pilot. Ya, aku sadar bahwa masih banyak profesi lain yang bisa aku jalani untuk mencapai kesuksesan. Di tahun kedua, aku berintrospeksi diri dan aku berkesimpulan bahwa aku tidak boleh terpuruk lagi, aku akan bangkit, dan akan berusaha terus melawan rasa sakitku. Memang tidak bisa dipungkiri, rasa sakit dari spasmophylia terus hinggap di kepalaku, namun ternyata dengan semangat dan keinginan yang besar, rasa sakit itu perlahan berkurang, walau tidak bisa hilang sama sekali, bahkan sampai saat ini. Perlahan-lahan aku mulai bangkit dan mulai bisa mengendalikan rasa sakitku. Aku mulai mengerti pelajaran yang disampaikan di kelas, dan sekarang ekonomi tidak lagi terlihat seperti coretan simbol belaka. Alhamdulillah berkat ekonomilah aku mulai merasakan kepercayaan diriku kembali bangkit, dan bisa menorehkan beberapa prestasi untuk IC. Sedikit demi sedikit aku terus menapaki “tangga kebangkitanku”, sampai akhirnya ketika berhasil menjadi wisudawan di IC, alhamdulillah beberapa prestasi berhasil aku raih, yang aku sendiri pun bahkan tidak menyangka.

Satu hal yang kiranya dapat menjadi pelajaran bagiku dan bagi Anda para pembaca. Dalam hidup setiap manusia, masalah, hambatan, tantangan, dan rintangan PASTI akan selalu ada. Walaupun kita tidak menginginkannya, mereka pasti akan datang, cepat atau lambat, dalam kondisi dan bentuknya yang bermacam-macam. Bukan menjadi pertanyaan bagi kita untuk bagaimana menghilangkan atau menghindari masalah, namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana MELEWATI dan MEMECAHKAN tembok masalah, karena percayalah kesuksesan telah menanti Anda dibalik tembok masalah itu. Dengan semangat juang, rasa ikhlas, dan permohonan tiada henti pada Sang Illahi, yakinlah bahwa sebesar dan sekuat apapun tembok masalah yang menghadang Anda, PASTI Anda bisa melewatinya. Berpikirlah positif, karena Anda adalah apa yang Anda pikirkan.

-Jangan tanyakan apa yang telah Anda dapatkan, tapi tanyakan apa yang telah Anda kerjakan-

Salam hangat,
Rifky Wildan Y/Civeramoz/Ilmu Politik FISIP UI 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar