Minggu, 20 Februari 2011

Rencana Allah itu indah

"Dir, gw ditermia dir!"
 
Begitulah teriakan Furqon membuat hatiku penasaran. Teriakannya disambut teriakan-teriakan kegirangan lainnya entah di asrama putra maupun di asrama putri. Yang kuingat kala itu ada Furqon dan Mikail yang diterima di Universitas Indonesia, sebuah kampus yang sangat prestisius di Indonesia.

Aku meminta izin Furqon untuk melihat hasil ujian masukku menggunakan pulsanya. Karena ia sedang gembira dan memakai telepon genggamku, tentu saja ia mengizinkanku menggunakan pulsanya. Kuketikkan nomor ujianku di situs simak.ui.ac.id
 
.

Ternyata aku gagal.
 
Aku begitu terpukul, namun Irul pun tidak diterima. Merasa ada teman, aku pun menghibur diriku, "tenang aja Dir, masih ada pengumuman ITB kan?"

Ya, masih ada pengumuman ITB. Karena aku sendiri pun lebih berharap masuk ke ITB dibanding UI. STEI ITB adalah dambaanku karena sangat terkenal kekomputerannya di sana (dan karena ada kak Mir juga disana wkwkwk...).
 
Aku pun kembali memejamkan mataku di tengah hutan teriakan kebahagiaan dan erangan kesedihan. Aku mencoba tampak seperti tidak terjadi apa-apa.

Akhirnya aku pun tertidur kembali.
 
---

Seperti biasa, aku terbangun jam 4 pagi untuk pergi shalat shubuh berjamaah di masjid. Kukenakan baju koko dan sarungku. Kukantongi peciku dan kuambil sandalku. Aku pergi melangkah ke masjid, berwudhu, dan menunaikan shalat tahiyatul masjid seperti biasa.

Namun kali ini aku tunaikan shalat tahajjud. Seselesainya aku meminta dengan sangat kepada Allah agar aku dapat diterima di STEI-ITB, atau setidaknya di FTI-ITB atau FTSL-ITB yang menjadi pilihan kedua dan ketigaku. Aku berusaha menghayati doaku dengan harapan agar doaku terkabul. Amin.

Pagi harinya semua anak-anak Civeramoz Alxondiscreduso membahas hasil ujian masuk mereka. Kebanyakan diterima dan mereka menjadi sangat bangga karena mereka berhasil "memesan kepastian kuliah" menyusul mereka yang telah berhasil masuk Universitas Negeri Surakarta dan Universitas Gadjah Mada melalui jalur PBS.

Teman-temanku menghampiriku menanyakan hal yang sama, "Dir, lo diterima gak?"
 
Aku berusaha menjawab dengan tenang, "mungkin aku ditakdirkan di ITB."

Berbagai komentar pun muncul. Sabar ya Dir. Itulah komentar yang umumnya terlontar. Namun kuingat satu komentar yang lain, komentar Sitta, "ya elu juga sih dir naro pilihan terbalik." Ya, mungkin terbalik tapi nasi sudah jadi bubur, jadi apa boleh buat. Satu lagi yang kuingat ternyata pilihanku dan Sitta sama, hanya terbalik.

Keesokan harinya kuulangi rutinitas yang sama. Aku shalat tahajud di masjid. Setelah mengikuti rangkaian shalat shubuh berjamaah aku pun langsung mandi. Hari itu aku mengikuti ujian masuk Universitas Gadjah Mada jalur UTUL. Sebagian dari temanku yang seharusnya ikut tapi telah diterima di Universitas Indonesia tidak ikut UTUL. Aku ingat hari itu aku menumpang mobil bapak Pahrurroji ke tempat ujian, SMAN 1.

Sepulangnya, aku pun jalan-jalan bersama Dibi dan Kemal (kalau tidak salah) ke ITC BSD. Setelah waktu hampir maghrib kami pun pulang.
 
Aku pun kembali menjalani rutinitasku, ditambah shalat tahajjud, hingga hari itu tiba...

---
 
Setelah tertunda tiga jam, akhirnya server ITB dapat diakses. Teriakan-teriakan memenuhi perpustakaan waktu itu.

"Ayo buka, buka!"
"Horeee!"
 
Dan teriakan sejenisnya. Intinya mereka yang telah melihat hasil tes mereka sangat berbahagia diterima di ITB. Ketika aku akan memasukkan nomor ujianku, Ivan datang menghampiriku, "Dir, tolong liatin punya gw dong."

Kupikir aku bisa melihat nanti, setelah Ivan. "Oke van, nomer elo berapa?"
 
Setelah menanti loading page yang lama, tertulis "Selamat, Anda diterima di FTI-ITB." Sontak Ivan bergabung dengan kerumunan orang-orang yang sedang berbahagia (dan berteriak-teriak) di perpustakaan.

Aku pun me-refresh page untuk kembali memasukkan nomor ujianku. Ketika itu Faradiani menghampiriku sambil setengah menahan tangis, "Dir, tolong cek-in punya gw dong..."
 
Karena tidak tega dan aku bisa melihat nanti (karena aku yang pegang komputer), aku pun memasukkan nomor ujian Faradiani setelah kutanyakan padanya.

"Selamat, Anda diterima di FTI-ITB."
 
Ia pun mengikuti Ivan, dan menangis terharu, "gw diterima!"

Setelah agak sepi, aku pun memasukkan nomor ujianku.
"Maaf, Anda tidak diterima di ITB."
 
Aku begitu terpukul. Aku tidak diterima. Namun aku juga tidak bisa mengalirkan air mataku. Dengan tenang aku berpikir, "tenang Dir, masih ada USM Terpusat."

Aku pun kembali ke kelas karena waktu istirahat sudah usai.
 
Setibanya di kelas, Joenan dan Faris Naufal bertanya, "Dir, diterima gak loe?" Aku pun menjawab, "yah, tulisan di web-nya "Selamat, Anda dapat mengikuti USM 2.""

"Yang sabar ya Dir," itulah ucapan mereka berdua. Aku berusaha untuk sabar dan tampak tak sesuatupun terjadi.
 
Joenan diterima di STEI, sedang Faris Naufal aku lupa antara FTMD atau FTTM.

Malamnya aku telepon ibuku, "ma, aku ga diterima di ITB USM 1, aku boleh ikut USM 2 ga?" Ibuku menjawab, "yang sabar ya nak, yaudah kamu beli aja formulirnya kalo udah buka pendaftarannya."
 
Lalu aku kembali ke asrama, dan pergi tidur.

---
 
Kupikir-pikir, kenapa aku belum diterima dimanapun? Aku meringkuk di kasurku, memeluk bantal gulingku. Kupikir aku ini begitu bodohnya hingga tidak diterima dimanapun. Kini tinggalah aku bersama sebagian kecil anak Civeramoz Alxondiscreduso yang belum mendapat bangku kuliah.

Kemudian terbayang mendadak kedua orangtuaku di rumah sana. Mereka tiap hari bekerja, berangkat pagi pulang malam, demi membiayaiku sekolah di Insan Cendekia yang terbilang mahal. Setiap bertemu dengan orang, mereka selalu membanggakanku, "anakku sekolah di IC lho," begitulah ucap mereka kepada lawan bicaranya dengan bangga.

Lalu aku terbayang, ketika sudah banyak pengumuman kelulusan ujian masuk universitas, "pak, bu, anaknya udah diterima di mana?"
 
Air mataku pun mengalir membasahi pipiku. Aku tak berani membayangkan jawaban mereka. Kupikir aku ini dzalim kepada keduanya. Aku tidak sehebat yang mereka banggakan.

Akhirnya, dalam kesedihan pun aku terlelap tidur.
 
---

Seminggu kemudian, aku dikabari ibuku bahwa pendaftaran USM 2 sudah dimulai, dan ibuku sudah menitip kepada saudaraku yang kuliah di ITB untuk membelikan formulirnya. Tentu saja aku semangat dan meminta formulir itu dibawakan ketika menjengukku di hari ahad.

Dengan penuh semangat aku mengisi formulir itu. Kusimpan formulir itu hingga saat libur reguler tiba aku bisa menyerahkannya pada ibuku. Ibuku kemudian pergi ke Bandung esoknya untuk menyerahkan formulir itu.
 
---

Tiap hari aku pun makin terlarut dalam tahajjudku. Tak cukup hanya berada di shaf pertama, bahkan aku datang paling pertama di masjid, bahkan sebelum para wali asrama tiba, sebelum anak-anak divisi IMTAQ terbangun. Di dalam masjid yang gelap pun aku merasakan betapa romantisnya percakapanku dengan Allah, "ya Allah, berikanlah aku kesempatan untuk berkuliah."

Tiap hari kuulangi hal yang sama. Aku tak meminta hal yang spesifik kepadaNya. Aku hanya meminta aku dapat berkuliah seperti teman-temanku yang lain. Aku hanya meminta agar aku dapat berkuliah sehingga orangtuaku dapat dengan bangga berkata, "anakku sudah kuliah lho."

Di tengah percakapan hatiku yang intens itu, lampu dinyalakan oleh seorang anak divisi IMTAQ.
 
Tak lama Furqon dan Ibun, teman sekamarku, menyusul tiba di masjid. Aku dan pak Pahrurroji bangga, karena penghuni kamarku, 202F, adalah para penghuni yang rajin datang duluan ke masjid di kala shubuh.

---
 
Malam itu Rizdi mengajakku bermain bulu tangkis. Kami bermain ba'da isya hingga jam menunjukkan setengah sembilan atau sepuluh. Seperti biasa ketika pulang kami ngobrol hal-hal kesukaan kami: komputer, Gundam, dan lainnya.

Ketika aku memasuki lobi asrama F, Furqon berlari ke arahku dan menyalamiku, "selamet ya Dir, lo diterima di UGM!"
 
"Ah seriusan lo qon?," tanyaku.

Lalu dia menarikku ke kamar Mikail yang juga kamarnya Rizdi. Melihat aku masuk kamar, Mikail pun berkata padaku, "selamet ya dir, lo keterima di UGM!"
 
"Emang gw keterima di mana?," tanyaku. Furqon membalas dengan semangat, "di Komputer Dir!"

Masya Allah! Ilmu Komputer UGM? Aku tidak percaya! Karena dari semua soal ujian yang pernah kuterima di bangku kelas, soal UTUL-UGM-lah yang paling sulit dibanding soal SIMAK UI maupun soal SPMB.
 
"Tau dari mana lo qon?," tanyaku.

"Cek di hape dong, kan bisa lewat SMS." Lalu ia menunjukkan padaku SMS dari SMS Gateway UGM, "Selamat MUHAMMAD CHAIDIR 09/282236/PA/12437 diterima di ILMU KOMPUTER UGM."
 
Seketika itu pun aku bersujud syukur. Mikail mengingatkanku, "Dir, kiblat ngadep sana," sambil menunjuk ke arah kiblat. Aku pun segera berbalik dan kembali bersujud syukur.

Masih setengah tak percaya, aku pun berlari ke kamarku, mengambil telepon genggamku dan mengirim lagi SMS ke SMS Gateway UGM. Tak lama telepon genggamku bergetar, tulisan yang tampak setelah aku membuka Inbox adalah, "Selamat MUHAMMAD CHAIDIR 09/282236/PA/12437 diterima di ILMU KOMPUTER UGM."

Aku tidak bermimpi! Aku telah diterima di Universitas Gadjah Mada! Aku bisa kuliah seperti teman-temanku yang lain! Aku pun berteriak senang, berlari ke sana-sini hingga akhirnya aku masuk ke kamar Imam.
 
---

Sejak hari itu hingga kelulusanku dari Insan Cendekia, aku selalu bersujud syukur di akhir tiap shalatku. Kejadian itu memberiku pelajaran berharga tentang pengharapan dan usaha serta kesabaran. Bagaimana indahnya suatu jerih payah yang diiringi dengan doa menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Pelajaran berharga ini mungkin disisipkan Allah dalam hidupku karena aku kurang bersyukur, atau mungkin hanya sekedar ujian saja dariNya. Tapi apa pun itu, pelajaran ini tak akan kulupakan seumur hidupku.

Ketika baru masuk kuliah, tiap kujumpai teman baru aku selalu menceritakan pengalamanku yang satu ini. Setengah bercanda mereka pun terharu mendengar ceritaku.
 
Tahun ini pun, ketika aku menginjak tahun kedua kuliahku, aku menceritakan kepada setiap adik kelas non-IC yang kutemui tentang pengalamanku ini. Mereka setengah bingung setengah takjub.

Aku sungguh bersyukur hingga sekarang aku dapat berkuliah di UGM. Materinya lebih ringan daripada di ITB sehingga aku seolah memiliki banyak waktu luang, yang sayangnya di tahun pertama, kusia-siakan. Indeks Prestasiku tidak terlalu fantastis tapi masih bisa dibanggakan, IP-ku hingga saat ini masih berkisar di angka 3.

Dan terakhir aku sangat bersyukur, karena di kampus kerakyatan inilah aku bertemu dengan seseorang yang dengannya aku merasa nyaman membicarakan sesuatu yang paling kusayang di dunia ini: keluarga.
 

(sori rada telat, ini cerita dedicated buat blog civeramoz.)

kucing gak makan ayam bakar pake sambel jing


Jd gw gak tau kapan pastinya, jd waktu itu gw pesen ayam bakar PAM terus gara2 ada acara di GSG (lupa gw acara apaan ) akhirnya nasi ayam bakarnya gw tinggal di atas meja. Nah setelah dua jam acara, gw blk ke asrama dan melihat bahwa ayam bakar gw ilang, abis itu anak2 bilang paling diambil kucing mer abisnya lu taro di atas meja, abis itu gw bilang "kucing gak makan ayam bakar pake sambel, jing!". Masa nasi ayam bakar gw sisanya nasi sama lalap doang.

Andai aku seorang wakamad




Asrama selalu diidentikkan dengan susahnya perizinan di dalamnya. Izin buat keluar dari lingkungan tersebutlah, buat “happy-happy”. Biasalah anak muda. Hidupnya hanya ingin bersenang-senang. Tetapi semua itu akan berubah, jika yang memberi izin adalah “SAYA”. Okey, jadi begini ceritanya. Simak baik-baik.
Waktu itu ruang wakamad (kepanjangannya apa nih? Lupa gw), ruang dimana kita semua, anak-anak Insan Cendekia mengadu nasibnya untuk memperoleh tanda tangan dan cap keasramaan dari seseorang pemegang kekuasaan di tempat itu. Ijin ini sangatlah berarti untuk seorang anak asrama. Karena waktu yang dimiliki untuk keluar-keluar sangatlah minim. Jadi dimana ada celah, disitulah peluang untuk keluar dari kampus islami ini. Meskipun dengan cara yang sedikit “illegal”. Sebutlah nama orang yang paling sering disebut2 adalah “Om Oji”, bapak asrama yang manis.
Nah, suatu saat, entah “Om” itu tertidur atau menghilang kemana pun, kebetulan kami (segerombolan anak ic yang asik), menuju ke ruang wakamad untuk meminta “tanda tangan dan cap dewa (nanti akan ada cerita sendiri tentang cap ini, @tag radit). Disitu kami mengetuk pintu dan mengucapkan, “Assalammualaikum”. Namun, dari dalam, tidak terdengar suara jangkrik atau apapun yang bisa menjawab salam itu. Tanpa basa-basi kami pun masuk.
Saat itu, aku, radit, dan imam(kalo ga salah komposisi orangnya seperti ini), dengan membawa kartu “ijin khusus”(ijin yang hanya diberikan kalo ada alasan2 yang masuk akal pada hari-hari tertentu, berbeda dengan ijin reguler: ijin yang diberikan tiap dua minggu sekali oleh asrama untuk anak2nya), masuk ke dalam ruangan itu. Dan saat mendekati meja, mata kami pun terbelalak, melihat tersedianya “cap dewa” di dalam laci Om Wakamad tersebut. Lalu dengan keasikan gw, gw langsung aja “mengambil peran” sebagai seorang wakamad, duduk di mejanya, dan berpura-pura bertanya kepada imam dan radit, “Kalian mau kemana? Yaudah sini kartu ijin khususnya, gitu aja pake sungkan2”. Dengan bergaya bak seorang wakamad, aku mengeluarkan cap dari dalam laci, lalu memberikan cap keasramaan tersebut ke kartu ijin mereka, termasuk kartu ijin khusus saya. Padahal biasanya, untuk permintaan “ijin khusus” ke seorang wakamad itu membutuhkan waktu yang lama, penuh dengan bual-bualan para penjilat agar ijin tersebut keluar. Dan itu pun belum bisa menjamin kalau jilatan kita berhasil.

Dan setelah itu, kami pun cepat2 keluar dari ruang wakamad tersebut(demi masa depan yang lebih baik), dan langsung siap-siap untuk “happy-happy”. Untuk masalah tanda tangan, aku sudah ahli lah untuk sedikit “memalsukan” tanda tangan “Om Oji” tersebut. Ya begitulah, “Andai Aku Seorang Wakamad”.

Hanif, “Ketua divisi Carlo Ricardo, Martabucks”
-kelas 3-

Kenapa Fara duduk di bangku gue?




Waktu itu (kalo nggak salah waktu kelas 3, eh apa pas kelas 2 ya?) di IC lagi ada ujian (UTS/UAS, jujur gue lupa. Dan mohon maaf kalau di cerita ini, banyak hal-hal yang salah atau terlupakan, ingatan gue buruk).  Saat itu ujian kelas gue bertempat di 3 ipa 4 (ini juga kalo nggak salah).  Hari itu gue ketiban sial, karena kartu ujian gue-yang seharusnya gue jaga- hilang, nggak ada dimana-mana. Dan setelah diingat-ingat kemungkinan terbesar penyebab hilangnya kartu itu disebabkan karena kecerobohan gue yang membuangnya bersama coret-coretan ujian di hari sebelumnya . Kalo nggak salah lagi itu ujian matematika, yang soalnya bikin orang ngamuk. Dan gue mengekspresikan kemarahan gue dengan tanpa sengaja ikut membuang kartu ujian bersama kertas coret-coretan.

Dan membuang kartu ujian ternyata bukan kebodohan sekaligus kesialan gue yang terakhir di hari itu.

Gue pun bergegas ke ruang guru untuk meminta surat sesuatu *gue lupa namanya* yang digunakan untuk menggantikan keberadaan kartu ujian. Setelah itu, gue berjalan dari ruang guru ke ruang ujian dengan tatapan kosong sambil bengong. Keadaan lorong sudah sangat sepi, karena semua orang suda berada di ruang ujian masing-masing. Saat berada di depan ruang yang gue yakini sebagai tempat ujian, gue membuka pintu kelas dengan yakin. Saat gue masuk, guru pengawas sedang membagikan kertas ujian. Semua orang serentak melihat ke arah pintu karena gue masuk, dan pada detik itu, gue masih merasa segalanya wajar . Saat gue masuk mata gue otomatis mengarah ke bangku yang seharusnya gue tempati. Dan disitulah letak ketidak wajarannya terlihat.  Saat itu seluruh bangku sudah terisi penuh, termasuk bangku yang harusnya gue tempati, waktu itu ada Fara yang sudah duduk di bangku gue. Dan ketika mata gue dan fara bertemu, pandangannya mengisyaratkan ngapain lo disini?

Sedangkan pikiran yang ada di benak gue saat itu adalah, "kenapa si fara duduk di bangku gue?"
Saat itu, otak gue emang lagi tumpul, mungkin karena ujian. Gue nggak langsung sadar apa masalah gue yang sebenarnya.
 Lalu pertanyaan berikutnya muncul "Kenapa Fara di kelas gue? Kita kan nggak sekelas?"

Kalo lo semua yang lagi baca cerita ini sedang berfikiran jernih, harusnya udah pada sadar letak kesalahan utamanya dimana….

Saat gue memandang muka anak-anak yang lain,yang semuanya bukan anak kelas gue, dan semuanya memandang gue dengan  pertanyaan yang sama ,kenapa nih anak ada di sini?, gue baru sadar kalo fara nggak salah. Itu emang tempat duduk dia.
Dan yang salah adalah GUE
Yak. GUE SALAH MASUK KELAS.

Dan beberapa detik setelah itu, suasana kelas yang tadinya sunyi senyap sebelum kedatangan gue, langsung gaduh karena ngetawain gue. Untuk kejadian berikutnya, gue udah gak inget. Gue nggak tau lagi bagaimana cara gue menyelamatkan diri keluar dari kelas itu.

Yang gue inget, saat istirahat, ketika anak-anak kelas itu ngeliat muka gue, mereka langsung ngakak lagi, sambil bilang "kok bisa-bisanya lo salah masuk kelas?" Rasanya gue nggak tau mau naro muka gue dimana.

Dan untuk kebodohan gue yang satu ini, gue punya alasan. Kelas ujian gue adalah kelas XII IPA 4, tapi kelas yang gue masuki adalah kelas XII IPA 3. Sekedar pemberitahuan, gue itu anak X.3, yang posisi kelasnya tepat di atas kelas XII IPA 3, trus di kelas 11, gue masuk XI IPA 3, yang kalau ujian sering di XII IPA 3. Pokoknya di alam bawah sadar gue, posisi kelas XII IPA 3 itu udah ter-setting sebagai kelas gue. Jadi waktu gue bengong, kaki gue membawa gue ke kelas itu.

Hikmah dari kisah ini:
Mungkin saat itu kebodohan gue bisa menghibur anak kelasnya tjetje yang lagi mau ujian

Pelajaran yang didapat dari cerita ini:
Jangan pernah  bengong saat menuju ruang ujian.


-Lara Rizka-







Bad Girl Gone Good?



Honestly, I was that kind of person who doesn’t give a damn thing about Almighty God. Yet, since I went to this epic school, I thought God has spoken in His way.
Pas nyokap gue memutuskan untuk masukin gue ke IC, it was like a giant slap on my face. Yang ada di kepala gue cuma “Gila lo gue udah 3 taun ga dirumah, baru 2 taun dirumah udah disuruh pergi lagi? Sekolah asrama? Nonsense!”  tapi mau gimana juga, itu kata nyokap. Well, I’ll give it a shot, but don’t expect any good from me.
Pas pendaftaran, gue seneng banget. Kenapa? Karena gue daftar pas lagi jam pelajaran sekolah gue, jadi ada lah alesan gue untuk cabut dari sekolah. Setibanya gue di IC, gue mikir “Ini sekolah apa pesantren?! Terpencil. Masuk-masuk ada masjid gede banget. Orang-orang pada jilbaban semua. WTH?!!” Secara gue dateng kesana pake seragam sekolah –rok pendek, baju ngepas, ga pake jilbab, typical anak-anak sekolah negeri lah- gue ngerasa ga enakan tapi bodo amat sih toh gue ga akan masuk sini juga. Yaudahlah akhirnya gue daftar, hanya untuk memenuhi keinginan mama papa tersayang.
Ga ada persiapan dari gue untuk ikut tes IC. Belajar pun nggak sama sekali. Yah gimana sih, orang gamau masuk sana ya kali belajar. Bahkan gue dibeliin soal-soal contoh tes IC sebelumnya sama nyokap,  dan itu ga pernah gue baca, boro-boro di buka.
Waktu tes, gue ke IC berangkat sendiri. Orang-orang yang gue liat banyak yang ditemenin orang tuanya. Pengen sih di temenin yekan, tapi gue gamau nyokap bokap gue tau kalo gue ga niat juga tes disana. Kedua, gue bertanya-tanya “kenapa banget banyak yang tes disini?”  Yah singkat cerita, pas tes, gue tes di GSG. Hari pertama tes IQ yah, meskipun gue ogah-ogahan tapi gue kerjain aja lah ya sekalian gue pengen tau juga hasilnya gimana. Hari kedua, tes akademik dong, setiap dibagiin soal gue senyum senyum doing liatin kertas soal itu –kecuali tes Al-Qur’an, bikin gue ngakak dan ngerasa di tes keimanan gue- namanya juga ga belajar jadi gue emang ga ngerti apa-apa. Palingan ada beberapa soal, masih bisa dihitung pake jari deh, yang bisa gue kerjain. Sisanya? Bahkan gue langsung tutup soal, taro dibawah kursi, dan mulai membatik di LJK. Otomatis gue selesai duluan dong, ternyata di sebelah gue juga senasib sama gue dan dia juga melakukan hal yang sama kayak gue. Ngobrol lah. Ngeceng dong pasti. Setelah tes pertama itu, gue janjian sama dia sama sekali ga liat soal. Bubaran tes, orang-orang pada sholat, apalah inilah itulah, ada yang nangis, ada yang ketawa bilang soalnya gampang, ga ngerti lagi deh gue. Yang jelas gue tau, I wouldn’t make it.
Pengumuman ga lama setelah tes ya kalo ga salah cuma seling beberapa minggu doang. Gue udah OPTIMIS ga masuk. Tapi pas di cek sama nyokap gue, ternyata I got in. I don’t know what had happened. I didn’t even do the test properly. Damn! Since, I believe God has spoken and I had to believe in God. You may call me a psychedelic or crazy or whatever you want. I believe when nature around us said something, showed something, that means God is trying to tell us something through it.
First year was extremely hard for me. It’s like another side of the world I’ve never been. Gue melakukan apa yang dituntut disana hanya karena formalitas saja. Hanya karena everybody do so, and I had to do so. Sampe suatu titik dimana gue merasa tertekan sekali dan gue mohon-mohon sama nyokap untuk pindah. Tapi kata-kata  yang terucap dari pacar gue waktu itu “kamu udah masuk sana, disana sekolahnya bagus, kamu itu pinter, hanya karena malas dan kamu tidak mau menjadi orang yang lebih baik jadi kamu mau pindah? Udah enak kamu disana, semua ada, tinggal belajar doang. Kasian juga orang tua kamu keluar duit lagi untuk pindah sekolah hanya karena kamu gamau disuruh-suruh sholat.” Wah itu pukulan banget buat gue untuk bertahan. Akhir tahun pertama, gue terancam ga naik kelas atau pilih masuk IPS karena gue unqualified untuk di IPA. Well, nyokap bokap udah nothing to lose juga sih tapi gimana juga gue pengen bikin mereka bangga. Akhirnya gue milih untuk bertahan di IC.
Tahun kedua, I started to get used to it. Bahkan masuk IC aja gue butuh waktu sekitar 1 tahun untuk beradaptasi dan melakukan semuanya sepenuh hati. And I swear, I believe in Great God. He brought me into tears sometimes, I feel guilty for not believing in Him before. Tahun kedua juga yang membuat gue berfikir, boarding school is not so bad either when you accept it with your whole heart.
Obstacles I face, was like a stepping stone for me to be more mature inside and out. Di IC gue dituntut untuk menjadi orang yang bukan gue. Tapi mau gimana juga, I cannot pretend to be someone else other than be just me with their rules. That’s it.
Tahun ketiga, it was brilliant times. Gue ga tau mau symbolize that year dengan apa. No words, no sentence, nothing can describe that year. I just had a real great time J
I got many lessons dari IC. And thankfully, I now do believe in God.