Sabtu, 18 Juni 2011

The Founding Fathers of 207-F


 
Tersebutlah suatu malam yang cukup dingin, para lelaki Civeramoz berkumpul di Living Room lantai dua gedung I mengenakan pakaian asrama sekedarnya. Malam ini adalah malam pengundian kamar baru bagi mereka untuk tahun ajaran 2008/2009 yakni kelas tiga. Dipimpin oleh Pembina asrama tercinta, Pak Oji, pemilihan ini berlangsung meriah karena diselingi oleh gumaman-gumaman, sorak-sorai sesaat, dan tak jarang pula kata2 umpatan yang meluncur mulus. Pada akhirnya kamar terbagi dengan cukup adil (sebetulnya karena ini undian sih jadi ga banyak yang protes). Aku mendapat kamar bernomor cantik, 207-F, padahal aku mengharapkan kamarku yang dulu waktu kelas 1 di 101-F tapi yasudahlah apa boleh buat. Semoga lantai 2 tidak membuatku malas kemana-mana. Anggota kamarku terdiri dari si Harya Dwi a.k.a. Pabon -yang terkenal bijak, tidak sombong, dan rajin ke masjid-, serta Fahmi Raditya a.k.a. Pahmi –yang terkenal juara paralel, olimp biologi, dan lain-lain-. Alhamdulillah, sebuah kamar yang potensial. InsyaAllah bisa membuatku tertular bijak, tidak sombong, rajin ke masjid, juara parallel, olimp biologi, dan lain-lain. (mungkin untuk poin kelima sudah tidak mungkin ya, udah kelas 3 soalnya).  Ya, sekamar kami cuma bertiga, artinya ada 1 fasilitas yang kosong nantinya. Sebagai ketua kamar terpilih yang baik, aku langsung berinisiatif malam itu juga untuk menemui kedua temanku. (dimana untuk setahun berikutnya aku baru menyadari bahwa fungsi ketua kamar yang kulakukan secara serius cuma ini). Maka masuklah aku ke kamar Mikail di lantai dua pojok gedung I. Kuketuk kamarnya dan ternyata terkunci, ku”kutuk” kuncinya dan ada suara dari dalam “bentar ndam!”. Klik-klik. Pintu pun dibukakan, kutemui pabon di dalam. Mikail sedang tidur-tiduran di kasur dan ada 2 orang lainnya yang aku lupa siapa saja. Aku berkata,
“Kita sekamar bon.”
“Iya, sama Pahmi ya?”
”Yoyoy.” 
Dan serta merta kedua insan ini pun membicarakan akan seperti apa kamar mereka nantinya. Mulai dari program kebersihan yang memiliki deliverables berupa status kamar terbersih asrama, sampai kamar paling tertib ke masjid.  Pokoknya bagaimana caranya supaya perfect karena ini adalah tahun terakhir kami di sekolah ini. Selain itu diperlukan pula kondisi yang mendukung untuk belajar karena seperti yang diketahui bersama bahwa kelas 3 merupakan pertaruhan untuk masuk universitas. Maka dirancanglah sebuah blueprint kamar. Karena ada 1 kasur, 1 lemari, dan 1 meja kursi yang kosong maka pertama-tama dirancang sebuah taman bacaan. Yakni meja yang kosong akan didayagunakan sebagai meja tempat membaca (mohon dicatat: bukan belajar, membaca). Selanjutnya karena hari sudah mulai larut dan pabon sudah mau tidur, maka kami pun make it simple saja. Kasur dan lemari pun kami tambahi imbuhan “baca” juga menjadi “kasur baca” dan “lemari baca” entah apa definisinya bisa dipikirkan nanti. Kami juga merancang kerjasama dengan kamar sebelah (208-F, yang personilnya Halim, Arif, dan Okta) yang terhubung langsung melalui beranda. Kami menyebutnya sebagai kerjasama bilateral antarkamar (efek ujian Kn masih terasa). Kerjasama bilateral yang sementara dirumuskan adalah di bidang pertahanan dan keamanan -hankam -(tentang proteksi terhadap orang luar kamar berupa penguncian pintu kamar tiap malam), dan  seni dan budaya –senbud- (tentang instalasi beranda kopi sore, yakni beranda yang berfungsi sebagai tempat santai minum kopi, main gitar, dan melihat matahari sore terbenam serta pemandangan lainnya).
 Rapat ini pun berjalan sukses dengan berbagai rumusan yang telah ditetapkan bersama. Malam itu Fahmi tidak dapat hadir dikarenakan satu dan lain hal. Namun suara 2 orang telah memenuhi suara ½ n plus 1 anggota kamar. Maka rapat ini pun dinyatakan memenuhi kuorum dan hasilnya sah, harus dijalankan oleh setiap anggota kamar dengan penuh tanggung jawab, tenggang rasa, serta tepa selira (lagi-lagi efek Kn).
Pada keberjalanannya, kamar ini tidak berhasil meraih predikat kamar terbersih, bahkan sempat nyaris menjadi kamar terkotor. Fungsi ketiga fasilitas berlebih itupun menjadi kurang jelas. Taman baca menjadi tempat menaruh buku berlebih, tempat makan gokana, ataupun tempat kaki berpijak ketika turun dari kasur tingkat 2. Lemari baca entah kenapa malah berisi keranjang cucian yang belakangan dipakai pabon untuk menyembunyikan HP. Kasur baca menjadi tempat tak tersentuh yang dipakai untuk menyimpan koper-koper dan tas-tas, sering pula dipakai fahmi untuk menggantung selimutnya yang berfungsi sebagai kelambu ketika ia terlelap.  Juga beranda yang akhirnya kotor, menjadi beranda biasa sebagai tempat menjemur handuk, kecuali beranda ini digunakan Arif sebagai tempat menyimpan “aquarium nyamuk” untuk KIRnya.
Demikianlah kisah awal sebuah kamar di Insan Cendekia, 207-F. Meskipun demikian berbedanya kenyataan dengan rancangan, kamar ini menyimpan sejuta-milyar-trilyun kenangan yang tidak dapat disebutkan satu-satu secara lengkap melalui tulisan, namun yang pasti kenangannya selalu terpatri di dalam hati sanubari yang menempatinya. Semoga kisah lain tentang kamar ini segera menyusul dari orang-orang yang pernah, atau sekedar membayangkan, menginjakkan kaki di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar