Minggu, 20 Februari 2011

Andai aku seorang wakamad




Asrama selalu diidentikkan dengan susahnya perizinan di dalamnya. Izin buat keluar dari lingkungan tersebutlah, buat “happy-happy”. Biasalah anak muda. Hidupnya hanya ingin bersenang-senang. Tetapi semua itu akan berubah, jika yang memberi izin adalah “SAYA”. Okey, jadi begini ceritanya. Simak baik-baik.
Waktu itu ruang wakamad (kepanjangannya apa nih? Lupa gw), ruang dimana kita semua, anak-anak Insan Cendekia mengadu nasibnya untuk memperoleh tanda tangan dan cap keasramaan dari seseorang pemegang kekuasaan di tempat itu. Ijin ini sangatlah berarti untuk seorang anak asrama. Karena waktu yang dimiliki untuk keluar-keluar sangatlah minim. Jadi dimana ada celah, disitulah peluang untuk keluar dari kampus islami ini. Meskipun dengan cara yang sedikit “illegal”. Sebutlah nama orang yang paling sering disebut2 adalah “Om Oji”, bapak asrama yang manis.
Nah, suatu saat, entah “Om” itu tertidur atau menghilang kemana pun, kebetulan kami (segerombolan anak ic yang asik), menuju ke ruang wakamad untuk meminta “tanda tangan dan cap dewa (nanti akan ada cerita sendiri tentang cap ini, @tag radit). Disitu kami mengetuk pintu dan mengucapkan, “Assalammualaikum”. Namun, dari dalam, tidak terdengar suara jangkrik atau apapun yang bisa menjawab salam itu. Tanpa basa-basi kami pun masuk.
Saat itu, aku, radit, dan imam(kalo ga salah komposisi orangnya seperti ini), dengan membawa kartu “ijin khusus”(ijin yang hanya diberikan kalo ada alasan2 yang masuk akal pada hari-hari tertentu, berbeda dengan ijin reguler: ijin yang diberikan tiap dua minggu sekali oleh asrama untuk anak2nya), masuk ke dalam ruangan itu. Dan saat mendekati meja, mata kami pun terbelalak, melihat tersedianya “cap dewa” di dalam laci Om Wakamad tersebut. Lalu dengan keasikan gw, gw langsung aja “mengambil peran” sebagai seorang wakamad, duduk di mejanya, dan berpura-pura bertanya kepada imam dan radit, “Kalian mau kemana? Yaudah sini kartu ijin khususnya, gitu aja pake sungkan2”. Dengan bergaya bak seorang wakamad, aku mengeluarkan cap dari dalam laci, lalu memberikan cap keasramaan tersebut ke kartu ijin mereka, termasuk kartu ijin khusus saya. Padahal biasanya, untuk permintaan “ijin khusus” ke seorang wakamad itu membutuhkan waktu yang lama, penuh dengan bual-bualan para penjilat agar ijin tersebut keluar. Dan itu pun belum bisa menjamin kalau jilatan kita berhasil.

Dan setelah itu, kami pun cepat2 keluar dari ruang wakamad tersebut(demi masa depan yang lebih baik), dan langsung siap-siap untuk “happy-happy”. Untuk masalah tanda tangan, aku sudah ahli lah untuk sedikit “memalsukan” tanda tangan “Om Oji” tersebut. Ya begitulah, “Andai Aku Seorang Wakamad”.

Hanif, “Ketua divisi Carlo Ricardo, Martabucks”
-kelas 3-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar