Minggu, 20 Februari 2011

Rencana Allah itu indah

"Dir, gw ditermia dir!"
 
Begitulah teriakan Furqon membuat hatiku penasaran. Teriakannya disambut teriakan-teriakan kegirangan lainnya entah di asrama putra maupun di asrama putri. Yang kuingat kala itu ada Furqon dan Mikail yang diterima di Universitas Indonesia, sebuah kampus yang sangat prestisius di Indonesia.

Aku meminta izin Furqon untuk melihat hasil ujian masukku menggunakan pulsanya. Karena ia sedang gembira dan memakai telepon genggamku, tentu saja ia mengizinkanku menggunakan pulsanya. Kuketikkan nomor ujianku di situs simak.ui.ac.id
 
.

Ternyata aku gagal.
 
Aku begitu terpukul, namun Irul pun tidak diterima. Merasa ada teman, aku pun menghibur diriku, "tenang aja Dir, masih ada pengumuman ITB kan?"

Ya, masih ada pengumuman ITB. Karena aku sendiri pun lebih berharap masuk ke ITB dibanding UI. STEI ITB adalah dambaanku karena sangat terkenal kekomputerannya di sana (dan karena ada kak Mir juga disana wkwkwk...).
 
Aku pun kembali memejamkan mataku di tengah hutan teriakan kebahagiaan dan erangan kesedihan. Aku mencoba tampak seperti tidak terjadi apa-apa.

Akhirnya aku pun tertidur kembali.
 
---

Seperti biasa, aku terbangun jam 4 pagi untuk pergi shalat shubuh berjamaah di masjid. Kukenakan baju koko dan sarungku. Kukantongi peciku dan kuambil sandalku. Aku pergi melangkah ke masjid, berwudhu, dan menunaikan shalat tahiyatul masjid seperti biasa.

Namun kali ini aku tunaikan shalat tahajjud. Seselesainya aku meminta dengan sangat kepada Allah agar aku dapat diterima di STEI-ITB, atau setidaknya di FTI-ITB atau FTSL-ITB yang menjadi pilihan kedua dan ketigaku. Aku berusaha menghayati doaku dengan harapan agar doaku terkabul. Amin.

Pagi harinya semua anak-anak Civeramoz Alxondiscreduso membahas hasil ujian masuk mereka. Kebanyakan diterima dan mereka menjadi sangat bangga karena mereka berhasil "memesan kepastian kuliah" menyusul mereka yang telah berhasil masuk Universitas Negeri Surakarta dan Universitas Gadjah Mada melalui jalur PBS.

Teman-temanku menghampiriku menanyakan hal yang sama, "Dir, lo diterima gak?"
 
Aku berusaha menjawab dengan tenang, "mungkin aku ditakdirkan di ITB."

Berbagai komentar pun muncul. Sabar ya Dir. Itulah komentar yang umumnya terlontar. Namun kuingat satu komentar yang lain, komentar Sitta, "ya elu juga sih dir naro pilihan terbalik." Ya, mungkin terbalik tapi nasi sudah jadi bubur, jadi apa boleh buat. Satu lagi yang kuingat ternyata pilihanku dan Sitta sama, hanya terbalik.

Keesokan harinya kuulangi rutinitas yang sama. Aku shalat tahajud di masjid. Setelah mengikuti rangkaian shalat shubuh berjamaah aku pun langsung mandi. Hari itu aku mengikuti ujian masuk Universitas Gadjah Mada jalur UTUL. Sebagian dari temanku yang seharusnya ikut tapi telah diterima di Universitas Indonesia tidak ikut UTUL. Aku ingat hari itu aku menumpang mobil bapak Pahrurroji ke tempat ujian, SMAN 1.

Sepulangnya, aku pun jalan-jalan bersama Dibi dan Kemal (kalau tidak salah) ke ITC BSD. Setelah waktu hampir maghrib kami pun pulang.
 
Aku pun kembali menjalani rutinitasku, ditambah shalat tahajjud, hingga hari itu tiba...

---
 
Setelah tertunda tiga jam, akhirnya server ITB dapat diakses. Teriakan-teriakan memenuhi perpustakaan waktu itu.

"Ayo buka, buka!"
"Horeee!"
 
Dan teriakan sejenisnya. Intinya mereka yang telah melihat hasil tes mereka sangat berbahagia diterima di ITB. Ketika aku akan memasukkan nomor ujianku, Ivan datang menghampiriku, "Dir, tolong liatin punya gw dong."

Kupikir aku bisa melihat nanti, setelah Ivan. "Oke van, nomer elo berapa?"
 
Setelah menanti loading page yang lama, tertulis "Selamat, Anda diterima di FTI-ITB." Sontak Ivan bergabung dengan kerumunan orang-orang yang sedang berbahagia (dan berteriak-teriak) di perpustakaan.

Aku pun me-refresh page untuk kembali memasukkan nomor ujianku. Ketika itu Faradiani menghampiriku sambil setengah menahan tangis, "Dir, tolong cek-in punya gw dong..."
 
Karena tidak tega dan aku bisa melihat nanti (karena aku yang pegang komputer), aku pun memasukkan nomor ujian Faradiani setelah kutanyakan padanya.

"Selamat, Anda diterima di FTI-ITB."
 
Ia pun mengikuti Ivan, dan menangis terharu, "gw diterima!"

Setelah agak sepi, aku pun memasukkan nomor ujianku.
"Maaf, Anda tidak diterima di ITB."
 
Aku begitu terpukul. Aku tidak diterima. Namun aku juga tidak bisa mengalirkan air mataku. Dengan tenang aku berpikir, "tenang Dir, masih ada USM Terpusat."

Aku pun kembali ke kelas karena waktu istirahat sudah usai.
 
Setibanya di kelas, Joenan dan Faris Naufal bertanya, "Dir, diterima gak loe?" Aku pun menjawab, "yah, tulisan di web-nya "Selamat, Anda dapat mengikuti USM 2.""

"Yang sabar ya Dir," itulah ucapan mereka berdua. Aku berusaha untuk sabar dan tampak tak sesuatupun terjadi.
 
Joenan diterima di STEI, sedang Faris Naufal aku lupa antara FTMD atau FTTM.

Malamnya aku telepon ibuku, "ma, aku ga diterima di ITB USM 1, aku boleh ikut USM 2 ga?" Ibuku menjawab, "yang sabar ya nak, yaudah kamu beli aja formulirnya kalo udah buka pendaftarannya."
 
Lalu aku kembali ke asrama, dan pergi tidur.

---
 
Kupikir-pikir, kenapa aku belum diterima dimanapun? Aku meringkuk di kasurku, memeluk bantal gulingku. Kupikir aku ini begitu bodohnya hingga tidak diterima dimanapun. Kini tinggalah aku bersama sebagian kecil anak Civeramoz Alxondiscreduso yang belum mendapat bangku kuliah.

Kemudian terbayang mendadak kedua orangtuaku di rumah sana. Mereka tiap hari bekerja, berangkat pagi pulang malam, demi membiayaiku sekolah di Insan Cendekia yang terbilang mahal. Setiap bertemu dengan orang, mereka selalu membanggakanku, "anakku sekolah di IC lho," begitulah ucap mereka kepada lawan bicaranya dengan bangga.

Lalu aku terbayang, ketika sudah banyak pengumuman kelulusan ujian masuk universitas, "pak, bu, anaknya udah diterima di mana?"
 
Air mataku pun mengalir membasahi pipiku. Aku tak berani membayangkan jawaban mereka. Kupikir aku ini dzalim kepada keduanya. Aku tidak sehebat yang mereka banggakan.

Akhirnya, dalam kesedihan pun aku terlelap tidur.
 
---

Seminggu kemudian, aku dikabari ibuku bahwa pendaftaran USM 2 sudah dimulai, dan ibuku sudah menitip kepada saudaraku yang kuliah di ITB untuk membelikan formulirnya. Tentu saja aku semangat dan meminta formulir itu dibawakan ketika menjengukku di hari ahad.

Dengan penuh semangat aku mengisi formulir itu. Kusimpan formulir itu hingga saat libur reguler tiba aku bisa menyerahkannya pada ibuku. Ibuku kemudian pergi ke Bandung esoknya untuk menyerahkan formulir itu.
 
---

Tiap hari aku pun makin terlarut dalam tahajjudku. Tak cukup hanya berada di shaf pertama, bahkan aku datang paling pertama di masjid, bahkan sebelum para wali asrama tiba, sebelum anak-anak divisi IMTAQ terbangun. Di dalam masjid yang gelap pun aku merasakan betapa romantisnya percakapanku dengan Allah, "ya Allah, berikanlah aku kesempatan untuk berkuliah."

Tiap hari kuulangi hal yang sama. Aku tak meminta hal yang spesifik kepadaNya. Aku hanya meminta aku dapat berkuliah seperti teman-temanku yang lain. Aku hanya meminta agar aku dapat berkuliah sehingga orangtuaku dapat dengan bangga berkata, "anakku sudah kuliah lho."

Di tengah percakapan hatiku yang intens itu, lampu dinyalakan oleh seorang anak divisi IMTAQ.
 
Tak lama Furqon dan Ibun, teman sekamarku, menyusul tiba di masjid. Aku dan pak Pahrurroji bangga, karena penghuni kamarku, 202F, adalah para penghuni yang rajin datang duluan ke masjid di kala shubuh.

---
 
Malam itu Rizdi mengajakku bermain bulu tangkis. Kami bermain ba'da isya hingga jam menunjukkan setengah sembilan atau sepuluh. Seperti biasa ketika pulang kami ngobrol hal-hal kesukaan kami: komputer, Gundam, dan lainnya.

Ketika aku memasuki lobi asrama F, Furqon berlari ke arahku dan menyalamiku, "selamet ya Dir, lo diterima di UGM!"
 
"Ah seriusan lo qon?," tanyaku.

Lalu dia menarikku ke kamar Mikail yang juga kamarnya Rizdi. Melihat aku masuk kamar, Mikail pun berkata padaku, "selamet ya dir, lo keterima di UGM!"
 
"Emang gw keterima di mana?," tanyaku. Furqon membalas dengan semangat, "di Komputer Dir!"

Masya Allah! Ilmu Komputer UGM? Aku tidak percaya! Karena dari semua soal ujian yang pernah kuterima di bangku kelas, soal UTUL-UGM-lah yang paling sulit dibanding soal SIMAK UI maupun soal SPMB.
 
"Tau dari mana lo qon?," tanyaku.

"Cek di hape dong, kan bisa lewat SMS." Lalu ia menunjukkan padaku SMS dari SMS Gateway UGM, "Selamat MUHAMMAD CHAIDIR 09/282236/PA/12437 diterima di ILMU KOMPUTER UGM."
 
Seketika itu pun aku bersujud syukur. Mikail mengingatkanku, "Dir, kiblat ngadep sana," sambil menunjuk ke arah kiblat. Aku pun segera berbalik dan kembali bersujud syukur.

Masih setengah tak percaya, aku pun berlari ke kamarku, mengambil telepon genggamku dan mengirim lagi SMS ke SMS Gateway UGM. Tak lama telepon genggamku bergetar, tulisan yang tampak setelah aku membuka Inbox adalah, "Selamat MUHAMMAD CHAIDIR 09/282236/PA/12437 diterima di ILMU KOMPUTER UGM."

Aku tidak bermimpi! Aku telah diterima di Universitas Gadjah Mada! Aku bisa kuliah seperti teman-temanku yang lain! Aku pun berteriak senang, berlari ke sana-sini hingga akhirnya aku masuk ke kamar Imam.
 
---

Sejak hari itu hingga kelulusanku dari Insan Cendekia, aku selalu bersujud syukur di akhir tiap shalatku. Kejadian itu memberiku pelajaran berharga tentang pengharapan dan usaha serta kesabaran. Bagaimana indahnya suatu jerih payah yang diiringi dengan doa menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Pelajaran berharga ini mungkin disisipkan Allah dalam hidupku karena aku kurang bersyukur, atau mungkin hanya sekedar ujian saja dariNya. Tapi apa pun itu, pelajaran ini tak akan kulupakan seumur hidupku.

Ketika baru masuk kuliah, tiap kujumpai teman baru aku selalu menceritakan pengalamanku yang satu ini. Setengah bercanda mereka pun terharu mendengar ceritaku.
 
Tahun ini pun, ketika aku menginjak tahun kedua kuliahku, aku menceritakan kepada setiap adik kelas non-IC yang kutemui tentang pengalamanku ini. Mereka setengah bingung setengah takjub.

Aku sungguh bersyukur hingga sekarang aku dapat berkuliah di UGM. Materinya lebih ringan daripada di ITB sehingga aku seolah memiliki banyak waktu luang, yang sayangnya di tahun pertama, kusia-siakan. Indeks Prestasiku tidak terlalu fantastis tapi masih bisa dibanggakan, IP-ku hingga saat ini masih berkisar di angka 3.

Dan terakhir aku sangat bersyukur, karena di kampus kerakyatan inilah aku bertemu dengan seseorang yang dengannya aku merasa nyaman membicarakan sesuatu yang paling kusayang di dunia ini: keluarga.
 

(sori rada telat, ini cerita dedicated buat blog civeramoz.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar